Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Nikmat
agama merupakan karunia terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan
kecuali kepada siapa yang dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan
kepada siapa yang mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran
baik atau buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.
Bentuk
nikmat agama adalah iman kepada Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya
laksana rizki. Satu dan yang lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang
sedikit. Yang lebih banyak mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih
sedikit. Siapa yang kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya
daripada yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia masih
memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada dalam
lingkup kebaikan.
Bertambahnya
iman harus diusahan, yakni dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya
iman harus dihindarkan, yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa
bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan kuat.
Berkurang dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan iman menjadi
ukuran seseorang mulia atau tercela.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى
كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا.
وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ
الشَّيْطَانِ
"Mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.
Namun masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu
dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika engkau
tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku berbuat
begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi katakanlah,
"Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia
Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR.
Muslim)
Maksud
mukmin kuat dalam hadits di atas adalah kuat imannya, bukan semata kuat fisik
atau materi. Karena kuatnya fisik dan materi akan membahayakan diri jika
digunakan untuk kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada
dasarnya, kuatnya fisik dan materi bukan sebagai pijakan mulia atau tercela.
Hanya saja, jika keduanya digunakan untuk kemanfaatan di dunia dan akhirat, ia
menjadi terpuji. Sebaliknya, jika digunakan untuk kemaksiatan terhadap Allah,
ia menjadi tercela.
Kuat
dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu
diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar.
Sehingga mukmin yang kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang kuat tekad
dan semangatnya –khususnya dalam urusan akhirat- sehingga ia lebih banyak maju
melawan musuh dalam jihad, lebih semangat keluar dan pergi menyambut jihad,
lebih semangat dalam melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, dan bersabar atas
ujian di dalamnya. Kuatnya di sini mencakup kuatnya kerinduan terhadap
Allah Ta'ala dan menjalankan tuntutannya berupa shalat, puasa, zikir, infak,
shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya; lebih aktif mencari dan menjaganya.
. . . Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan
materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan
menerima qadha' dan qadar. . .
Sedangkan
makna mukmin lemah adalah kebalikan dari semua ini. Namun tidak boleh
diremehkan, sebab ia masih dalam lingkup baik karena masih ada iman dalam
dirinya.
Kemudian
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan setiap mukmin, baik yang
kuat maupun yang lemah, untuk bersemangat dalam mencari apa yang manfaat untuk
dirinya dari urusan dunia dan akhiratnya. Namun tidak boleh lupa terhadap kuasa
Allah dengan senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan usaha
tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah
pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."
Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan maksud hadits di atas, "Dan
maksudnya: bersemangat dalam menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba dalam
urusan dunia dan akhiratnya dari sebab-sebab yang wajib, sunnah, dan mubah yang
telah Allah syariatkan. Lalu dalam mengerjakan sebab tersebut, hamba tadi
meminta tolong kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya, agar sebab itu
menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandarnya hanya kepada Allah Ta'ala dalam
mengerjakannya. Karena Allah lah yang menciptakan sebab dan akibatnya. Suatu
sebab tidak akan berguna kecuali jika Allah mengizinkannya. Sehingga hanya
kepada Allah Ta'ala semata ia bertawakkal dalam mengerjakan sebab. Karena
mengerjakan sebab adalah sunnah, sementara tawakkal adalah tauhid. Jika ia
menggabungkan keduanya, maka akan terwujud tujuannya dengan izin Allah."
(Fath al-Majid: 560)
Usaha
dan isti'anah harus terus dilakukan, tidak boleh melemah karena malas, putus
harapan, perkataan orang, perasaan tidak enak, mitos atau sebab yang tak jelas
lainnya. Karena ada sebagian orang yang sudah bersemangat menggapai apa yang
dibutuhkannya dan disyariatkan kepadanya, lalu ia melemah dan malas sehingga
meninggalkan amal tersebut. Manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya hilang
begitu saja sehingga ia menjadi manusia merugi.
Bagi
seorang muslim jika melihat suatu pekerjaan yang mendatangkan manfaat dan guna
untuk dirinya, hendaknya ia semangat mengerjakannya dan beristi'anah kepada
Allah agar dikuatkan dan dimudahkan, lalu komitmen dan konsisten menyelesaikan
pekerjaannya. Jika demikian berarti ia mengikuti wasiat Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam dalam hadits ini sehingga ia terkategori sebagai mukmin
yang kuat. Di samping manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya diperoleh, ia
juga mendapatkan pahala dalam kesungguhannya tersebut.
Dikisahkan
dari perjalanan hidup Imam al-Kasai, seorang ulama ahli Nahwu, saat mulai
bejalar ilmu Nahwu beliau mendapati kesulitan sehingga hampir putus asa.
Kemudian beliau menemukan seekor semut membawa makanan ke atas tembok. Setiap
semut itu naik sedikit, ia terjatuh. Begitu berulang-ulang sehingga ia berhasil
naik ke atas. Imam al-Kasai mengambil pelajaran dari semut tersebut, beliau
bersungguh-sungguh dalam belajar sampai menjadi imam besar dalam ilmu Nahwu.
Penutup
Tulisan
ini mengajak kepada pembaca untuk terus meninggkatkan kualitas dan kuantitas
iman. Mengajak untuk menjadi hamba Allah yang kuat imannya. Yakni dengan
menguatkan semangat dalam menggapai kemanfaatan duniawi dan ukhrawi, disertai
isti'anah kepada Allah semata. Terus semangat, konsisten dan komitmen dalam
usahanya, dan tidak melemah. Jika terjadi sesuatu yang tak sesuai harapan, ia
tidak lantas ambruk dan kapok. Tidak pula mengandai-andai, jika tadi melakukan
ini pasti terjadi sesuatu yang lain. Karena mengandai-andai semacam ini akan
membuka pintu syetan, yakni akan menyebabkan cacian terhadap takdir, marah
kepada keputusan Allah, lemah semangat, was-was, merana dan sedih. Tetapi
hendaknya ia terus menjaga semangat dan keyakinanya kepada Allah dengan
mengatakan, Qaddarallahu Wamaa Syaa-a Fa'ala (Allah telah
mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat). Wallahu Ta'ala A'lam.
Artikel di atas dikutip dari : http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2012/04/17/18685/mukmin-kuat-lebih-baik-dan-dicintai-allah/#sthash.Ah4JFJFD.dpbs
|
Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan
salam semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Nikmat agama merupakan karunia terbesar
dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan kecuali kepada siapa yang
dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan kepada siapa yang
mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran baik atau
buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.
Bentuk nikmat agama adalah iman kepada
Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya laksana rizki. Satu dan yang
lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang sedikit. Yang lebih banyak
mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih sedikit. Siapa yang
kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya daripada
yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia masih
memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada dalam
lingkup kebaikan.
Bertambahnya iman harus diusahan, yakni
dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya iman harus dihindarkan,
yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa bertambah dan
berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan kuat. Berkurang
dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan iman menjadi
ukuran seseorang mulia atau tercela.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ
كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun
masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu
dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika
engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku
berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi
katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
Maksud mukmin kuat dalam hadits di atas
adalah kuat imannya, bukan semata kuat fisik atau materi. Karena kuatnya
fisik dan materi akan membahayakan diri jika digunakan untuk
kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada dasarnya, kuatnya fisik dan materi
bukan sebagai pijakan mulia atau tercela. Hanya saja, jika keduanya
digunakan untuk kemanfaatan di dunia dan akhirat, ia menjadi terpuji.
Sebaliknya, jika digunakan untuk kemaksiatan terhadap Allah, ia menjadi
tercela.
Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat
fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada
Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. Sehingga mukmin yang
kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang kuat tekad dan semangatnya
–khususnya dalam urusan akhirat- sehingga ia lebih banyak maju melawan
musuh dalam jihad, lebih semangat keluar dan pergi menyambut jihad,
lebih semangat dalam melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, dan bersabar
atas ujian di dalamnya. Kuatnya di sini mencakup kuatnya kerinduan
terhadap Allah Ta'ala dan menjalankan tuntutannya berupa shalat, puasa,
zikir, infak, shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya; lebih aktif mencari
dan menjaganya.
. . . Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. . .
Sedangkan makna mukmin lemah adalah
kebalikan dari semua ini. Namun tidak boleh diremehkan, sebab ia masih
dalam lingkup baik karena masih ada iman dalam dirinya.
Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
memerintahkan setiap mukmin, baik yang kuat maupun yang lemah, untuk
bersemangat dalam mencari apa yang manfaat untuk dirinya dari urusan
dunia dan akhiratnya. Namun tidak boleh lupa terhadap kuasa Allah dengan
senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan usaha
tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh
menjelaskan maksud hadits di atas, "Dan maksudnya: bersemangat dalam
menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba dalam urusan dunia dan
akhiratnya dari sebab-sebab yang wajib, sunnah, dan mubah yang telah
Allah syariatkan. Lalu dalam mengerjakan sebab tersebut, hamba tadi
meminta tolong kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya, agar sebab
itu menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandarnya hanya kepada Allah
Ta'ala dalam mengerjakannya. Karena Allah lah yang menciptakan sebab dan
akibatnya. Suatu sebab tidak akan berguna kecuali jika Allah
mengizinkannya. Sehingga hanya kepada Allah Ta'ala semata ia bertawakkal
dalam mengerjakan sebab. Karena mengerjakan sebab adalah sunnah,
sementara tawakkal adalah tauhid. Jika ia menggabungkan keduanya, maka
akan terwujud tujuannya dengan izin Allah." (Fath al-Majid: 560)
Usaha dan isti'anah harus terus
dilakukan, tidak boleh melemah karena malas, putus harapan, perkataan
orang, perasaan tidak enak, mitos atau sebab yang tak jelas lainnya.
Karena ada sebagian orang yang sudah bersemangat menggapai apa yang
dibutuhkannya dan disyariatkan kepadanya, lalu ia melemah dan malas
sehingga meninggalkan amal tersebut. Manfaat dan mashlahat yang
dibutuhkannya hilang begitu saja sehingga ia menjadi manusia merugi.
Bagi seorang muslim jika melihat suatu
pekerjaan yang mendatangkan manfaat dan guna untuk dirinya, hendaknya ia
semangat mengerjakannya dan beristi'anah kepada Allah agar dikuatkan
dan dimudahkan, lalu komitmen dan konsisten menyelesaikan pekerjaannya.
Jika demikian berarti ia mengikuti wasiat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
dalam hadits ini sehingga ia terkategori sebagai mukmin yang kuat. Di
samping manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya diperoleh, ia juga
mendapatkan pahala dalam kesungguhannya tersebut.
Dikisahkan dari perjalanan hidup Imam
al-Kasai, seorang ulama ahli Nahwu, saat mulai bejalar ilmu Nahwu beliau
mendapati kesulitan sehingga hampir putus asa. Kemudian beliau
menemukan seekor semut membawa makanan ke atas tembok. Setiap semut itu
naik sedikit, ia terjatuh. Begitu berulang-ulang sehingga ia berhasil
naik ke atas. Imam al-Kasai mengambil pelajaran dari semut tersebut,
beliau bersungguh-sungguh dalam belajar sampai menjadi imam besar dalam
ilmu Nahwu.
Penutup
Tulisan ini mengajak kepada pembaca
untuk terus meninggkatkan kualitas dan kuantitas iman. Mengajak untuk
menjadi hamba Allah yang kuat imannya. Yakni dengan menguatkan semangat
dalam menggapai kemanfaatan duniawi dan ukhrawi, disertai isti'anah
kepada Allah semata. Terus semangat, konsisten dan komitmen dalam
usahanya, dan tidak melemah. Jika terjadi sesuatu yang tak sesuai
harapan, ia tidak lantas ambruk dan kapok. Tidak pula mengandai-andai,
jika tadi melakukan ini pasti terjadi sesuatu yang lain. Karena
mengandai-andai semacam ini akan membuka pintu syetan, yakni akan
menyebabkan cacian terhadap takdir, marah kepada keputusan Allah, lemah
semangat, was-was, merana dan sedih. Tetapi hendaknya ia terus menjaga
semangat dan keyakinanya kepada Allah dengan mengatakan, Qaddarallahu Wamaa Syaa-a Fa'ala (Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat). Wallahu Ta'ala A'lam.
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2012/04/17/18685/mukmin-kuat-lebih-baik-dan-dicintai-allah/#sthash.Ah4JFJFD.dpuf
Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Nikmat
agama merupakan karunia terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan
kecuali kepada siapa yang dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan
kepada siapa yang mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran
baik atau buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.
Bentuk
nikmat agama adalah iman kepada Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya
laksana rizki. Satu dan yang lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang
sedikit. Yang lebih banyak mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih
sedikit. Siapa yang kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya
daripada yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia masih
memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada dalam
lingkup kebaikan.
Bertambahnya
iman harus diusahan, yakni dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya
iman harus dihindarkan, yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa
bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan kuat.
Berkurang dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan iman menjadi
ukuran seseorang mulia atau tercela.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى
كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا.
وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ
الشَّيْطَانِ
"Mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.
Namun masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu
dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika engkau
tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku berbuat
begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi katakanlah,
"Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia
Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR.
Muslim)
Maksud
mukmin kuat dalam hadits di atas adalah kuat imannya, bukan semata kuat fisik
atau materi. Karena kuatnya fisik dan materi akan membahayakan diri jika
digunakan untuk kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada
dasarnya, kuatnya fisik dan materi bukan sebagai pijakan mulia atau tercela.
Hanya saja, jika keduanya digunakan untuk kemanfaatan di dunia dan akhirat, ia
menjadi terpuji. Sebaliknya, jika digunakan untuk kemaksiatan terhadap Allah,
ia menjadi tercela.
Kuat
dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu
diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar.
Sehingga mukmin yang kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang kuat tekad
dan semangatnya –khususnya dalam urusan akhirat- sehingga ia lebih banyak maju
melawan musuh dalam jihad, lebih semangat keluar dan pergi menyambut jihad,
lebih semangat dalam melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, dan bersabar atas
ujian di dalamnya. Kuatnya di sini mencakup kuatnya kerinduan terhadap
Allah Ta'ala dan menjalankan tuntutannya berupa shalat, puasa, zikir, infak,
shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya; lebih aktif mencari dan menjaganya.
. . . Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan
materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan
menerima qadha' dan qadar. . .
Sedangkan
makna mukmin lemah adalah kebalikan dari semua ini. Namun tidak boleh
diremehkan, sebab ia masih dalam lingkup baik karena masih ada iman dalam
dirinya.
Kemudian
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan setiap mukmin, baik yang
kuat maupun yang lemah, untuk bersemangat dalam mencari apa yang manfaat untuk
dirinya dari urusan dunia dan akhiratnya. Namun tidak boleh lupa terhadap kuasa
Allah dengan senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan usaha
tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah
pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."
Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan maksud hadits di atas, "Dan
maksudnya: bersemangat dalam menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba dalam
urusan dunia dan akhiratnya dari sebab-sebab yang wajib, sunnah, dan mubah yang
telah Allah syariatkan. Lalu dalam mengerjakan sebab tersebut, hamba tadi
meminta tolong kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya, agar sebab itu
menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandarnya hanya kepada Allah Ta'ala dalam
mengerjakannya. Karena Allah lah yang menciptakan sebab dan akibatnya. Suatu
sebab tidak akan berguna kecuali jika Allah mengizinkannya. Sehingga hanya
kepada Allah Ta'ala semata ia bertawakkal dalam mengerjakan sebab. Karena
mengerjakan sebab adalah sunnah, sementara tawakkal adalah tauhid. Jika ia
menggabungkan keduanya, maka akan terwujud tujuannya dengan izin Allah."
(Fath al-Majid: 560)
Usaha
dan isti'anah harus terus dilakukan, tidak boleh melemah karena malas, putus
harapan, perkataan orang, perasaan tidak enak, mitos atau sebab yang tak jelas
lainnya. Karena ada sebagian orang yang sudah bersemangat menggapai apa yang
dibutuhkannya dan disyariatkan kepadanya, lalu ia melemah dan malas sehingga
meninggalkan amal tersebut. Manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya hilang
begitu saja sehingga ia menjadi manusia merugi.
Bagi
seorang muslim jika melihat suatu pekerjaan yang mendatangkan manfaat dan guna
untuk dirinya, hendaknya ia semangat mengerjakannya dan beristi'anah kepada
Allah agar dikuatkan dan dimudahkan, lalu komitmen dan konsisten menyelesaikan
pekerjaannya. Jika demikian berarti ia mengikuti wasiat Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam dalam hadits ini sehingga ia terkategori sebagai mukmin
yang kuat. Di samping manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya diperoleh, ia
juga mendapatkan pahala dalam kesungguhannya tersebut.
Dikisahkan
dari perjalanan hidup Imam al-Kasai, seorang ulama ahli Nahwu, saat mulai
bejalar ilmu Nahwu beliau mendapati kesulitan sehingga hampir putus asa.
Kemudian beliau menemukan seekor semut membawa makanan ke atas tembok. Setiap
semut itu naik sedikit, ia terjatuh. Begitu berulang-ulang sehingga ia berhasil
naik ke atas. Imam al-Kasai mengambil pelajaran dari semut tersebut, beliau
bersungguh-sungguh dalam belajar sampai menjadi imam besar dalam ilmu Nahwu.
Penutup
Tulisan
ini mengajak kepada pembaca untuk terus meninggkatkan kualitas dan kuantitas
iman. Mengajak untuk menjadi hamba Allah yang kuat imannya. Yakni dengan
menguatkan semangat dalam menggapai kemanfaatan duniawi dan ukhrawi, disertai
isti'anah kepada Allah semata. Terus semangat, konsisten dan komitmen dalam
usahanya, dan tidak melemah. Jika terjadi sesuatu yang tak sesuai harapan, ia
tidak lantas ambruk dan kapok. Tidak pula mengandai-andai, jika tadi melakukan
ini pasti terjadi sesuatu yang lain. Karena mengandai-andai semacam ini akan
membuka pintu syetan, yakni akan menyebabkan cacian terhadap takdir, marah
kepada keputusan Allah, lemah semangat, was-was, merana dan sedih. Tetapi
hendaknya ia terus menjaga semangat dan keyakinanya kepada Allah dengan
mengatakan, Qaddarallahu Wamaa Syaa-a Fa'ala (Allah telah
mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat). Wallahu Ta'ala A'lam.
Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan
salam semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Nikmat agama merupakan karunia terbesar
dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan kecuali kepada siapa yang
dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan kepada siapa yang
mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran baik atau
buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.
Bentuk nikmat agama adalah iman kepada
Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya laksana rizki. Satu dan yang
lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang sedikit. Yang lebih banyak
mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih sedikit. Siapa yang
kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya daripada
yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia masih
memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada dalam
lingkup kebaikan.
Bertambahnya iman harus diusahan, yakni
dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya iman harus dihindarkan,
yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa bertambah dan
berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan kuat. Berkurang
dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan iman menjadi
ukuran seseorang mulia atau tercela.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ
كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun
masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu
dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika
engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku
berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi
katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
Maksud mukmin kuat dalam hadits di atas
adalah kuat imannya, bukan semata kuat fisik atau materi. Karena kuatnya
fisik dan materi akan membahayakan diri jika digunakan untuk
kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada dasarnya, kuatnya fisik dan materi
bukan sebagai pijakan mulia atau tercela. Hanya saja, jika keduanya
digunakan untuk kemanfaatan di dunia dan akhirat, ia menjadi terpuji.
Sebaliknya, jika digunakan untuk kemaksiatan terhadap Allah, ia menjadi
tercela.
Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat
fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada
Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. Sehingga mukmin yang
kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang kuat tekad dan semangatnya
–khususnya dalam urusan akhirat- sehingga ia lebih banyak maju melawan
musuh dalam jihad, lebih semangat keluar dan pergi menyambut jihad,
lebih semangat dalam melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, dan bersabar
atas ujian di dalamnya. Kuatnya di sini mencakup kuatnya kerinduan
terhadap Allah Ta'ala dan menjalankan tuntutannya berupa shalat, puasa,
zikir, infak, shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya; lebih aktif mencari
dan menjaganya.
. . . Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. . .
Sedangkan makna mukmin lemah adalah
kebalikan dari semua ini. Namun tidak boleh diremehkan, sebab ia masih
dalam lingkup baik karena masih ada iman dalam dirinya.
Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
memerintahkan setiap mukmin, baik yang kuat maupun yang lemah, untuk
bersemangat dalam mencari apa yang manfaat untuk dirinya dari urusan
dunia dan akhiratnya. Namun tidak boleh lupa terhadap kuasa Allah dengan
senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan usaha
tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh
menjelaskan maksud hadits di atas, "Dan maksudnya: bersemangat dalam
menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba dalam urusan dunia dan
akhiratnya dari sebab-sebab yang wajib, sunnah, dan mubah yang telah
Allah syariatkan. Lalu dalam mengerjakan sebab tersebut, hamba tadi
meminta tolong kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya, agar sebab
itu menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandarnya hanya kepada Allah
Ta'ala dalam mengerjakannya. Karena Allah lah yang menciptakan sebab dan
akibatnya. Suatu sebab tidak akan berguna kecuali jika Allah
mengizinkannya. Sehingga hanya kepada Allah Ta'ala semata ia bertawakkal
dalam mengerjakan sebab. Karena mengerjakan sebab adalah sunnah,
sementara tawakkal adalah tauhid. Jika ia menggabungkan keduanya, maka
akan terwujud tujuannya dengan izin Allah." (Fath al-Majid: 560)
Usaha dan isti'anah harus terus
dilakukan, tidak boleh melemah karena malas, putus harapan, perkataan
orang, perasaan tidak enak, mitos atau sebab yang tak jelas lainnya.
Karena ada sebagian orang yang sudah bersemangat menggapai apa yang
dibutuhkannya dan disyariatkan kepadanya, lalu ia melemah dan malas
sehingga meninggalkan amal tersebut. Manfaat dan mashlahat yang
dibutuhkannya hilang begitu saja sehingga ia menjadi manusia merugi.
Bagi seorang muslim jika melihat suatu
pekerjaan yang mendatangkan manfaat dan guna untuk dirinya, hendaknya ia
semangat mengerjakannya dan beristi'anah kepada Allah agar dikuatkan
dan dimudahkan, lalu komitmen dan konsisten menyelesaikan pekerjaannya.
Jika demikian berarti ia mengikuti wasiat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
dalam hadits ini sehingga ia terkategori sebagai mukmin yang kuat. Di
samping manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya diperoleh, ia juga
mendapatkan pahala dalam kesungguhannya tersebut.
Dikisahkan dari perjalanan hidup Imam
al-Kasai, seorang ulama ahli Nahwu, saat mulai bejalar ilmu Nahwu beliau
mendapati kesulitan sehingga hampir putus asa. Kemudian beliau
menemukan seekor semut membawa makanan ke atas tembok. Setiap semut itu
naik sedikit, ia terjatuh. Begitu berulang-ulang sehingga ia berhasil
naik ke atas. Imam al-Kasai mengambil pelajaran dari semut tersebut,
beliau bersungguh-sungguh dalam belajar sampai menjadi imam besar dalam
ilmu Nahwu.
Penutup
Tulisan ini mengajak kepada pembaca
untuk terus meninggkatkan kualitas dan kuantitas iman. Mengajak untuk
menjadi hamba Allah yang kuat imannya. Yakni dengan menguatkan semangat
dalam menggapai kemanfaatan duniawi dan ukhrawi, disertai isti'anah
kepada Allah semata. Terus semangat, konsisten dan komitmen dalam
usahanya, dan tidak melemah. Jika terjadi sesuatu yang tak sesuai
harapan, ia tidak lantas ambruk dan kapok. Tidak pula mengandai-andai,
jika tadi melakukan ini pasti terjadi sesuatu yang lain. Karena
mengandai-andai semacam ini akan membuka pintu syetan, yakni akan
menyebabkan cacian terhadap takdir, marah kepada keputusan Allah, lemah
semangat, was-was, merana dan sedih. Tetapi hendaknya ia terus menjaga
semangat dan keyakinanya kepada Allah dengan mengatakan, Qaddarallahu Wamaa Syaa-a Fa'ala (Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat). Wallahu Ta'ala A'lam.
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2012/04/17/18685/mukmin-kuat-lebih-baik-dan-dicintai-allah/#sthash.Ah4JFJFD.dpuf
Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan
salam semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Nikmat agama merupakan karunia terbesar
dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan kecuali kepada siapa yang
dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan kepada siapa yang
mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran baik atau
buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.
Bentuk nikmat agama adalah iman kepada
Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya laksana rizki. Satu dan yang
lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang sedikit. Yang lebih banyak
mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih sedikit. Siapa yang
kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya daripada
yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia masih
memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada dalam
lingkup kebaikan.
Bertambahnya iman harus diusahan, yakni
dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya iman harus dihindarkan,
yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa bertambah dan
berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan kuat. Berkurang
dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan iman menjadi
ukuran seseorang mulia atau tercela.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ
كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun
masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu
dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika
engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku
berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi
katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
Maksud mukmin kuat dalam hadits di atas
adalah kuat imannya, bukan semata kuat fisik atau materi. Karena kuatnya
fisik dan materi akan membahayakan diri jika digunakan untuk
kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada dasarnya, kuatnya fisik dan materi
bukan sebagai pijakan mulia atau tercela. Hanya saja, jika keduanya
digunakan untuk kemanfaatan di dunia dan akhirat, ia menjadi terpuji.
Sebaliknya, jika digunakan untuk kemaksiatan terhadap Allah, ia menjadi
tercela.
Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat
fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada
Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. Sehingga mukmin yang
kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang kuat tekad dan semangatnya
–khususnya dalam urusan akhirat- sehingga ia lebih banyak maju melawan
musuh dalam jihad, lebih semangat keluar dan pergi menyambut jihad,
lebih semangat dalam melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, dan bersabar
atas ujian di dalamnya. Kuatnya di sini mencakup kuatnya kerinduan
terhadap Allah Ta'ala dan menjalankan tuntutannya berupa shalat, puasa,
zikir, infak, shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya; lebih aktif mencari
dan menjaganya.
. . . Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. . .
Sedangkan makna mukmin lemah adalah
kebalikan dari semua ini. Namun tidak boleh diremehkan, sebab ia masih
dalam lingkup baik karena masih ada iman dalam dirinya.
Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
memerintahkan setiap mukmin, baik yang kuat maupun yang lemah, untuk
bersemangat dalam mencari apa yang manfaat untuk dirinya dari urusan
dunia dan akhiratnya. Namun tidak boleh lupa terhadap kuasa Allah dengan
senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan usaha
tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh
menjelaskan maksud hadits di atas, "Dan maksudnya: bersemangat dalam
menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba dalam urusan dunia dan
akhiratnya dari sebab-sebab yang wajib, sunnah, dan mubah yang telah
Allah syariatkan. Lalu dalam mengerjakan sebab tersebut, hamba tadi
meminta tolong kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya, agar sebab
itu menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandarnya hanya kepada Allah
Ta'ala dalam mengerjakannya. Karena Allah lah yang menciptakan sebab dan
akibatnya. Suatu sebab tidak akan berguna kecuali jika Allah
mengizinkannya. Sehingga hanya kepada Allah Ta'ala semata ia bertawakkal
dalam mengerjakan sebab. Karena mengerjakan sebab adalah sunnah,
sementara tawakkal adalah tauhid. Jika ia menggabungkan keduanya, maka
akan terwujud tujuannya dengan izin Allah." (Fath al-Majid: 560)
Usaha dan isti'anah harus terus
dilakukan, tidak boleh melemah karena malas, putus harapan, perkataan
orang, perasaan tidak enak, mitos atau sebab yang tak jelas lainnya.
Karena ada sebagian orang yang sudah bersemangat menggapai apa yang
dibutuhkannya dan disyariatkan kepadanya, lalu ia melemah dan malas
sehingga meninggalkan amal tersebut. Manfaat dan mashlahat yang
dibutuhkannya hilang begitu saja sehingga ia menjadi manusia merugi.
Bagi seorang muslim jika melihat suatu
pekerjaan yang mendatangkan manfaat dan guna untuk dirinya, hendaknya ia
semangat mengerjakannya dan beristi'anah kepada Allah agar dikuatkan
dan dimudahkan, lalu komitmen dan konsisten menyelesaikan pekerjaannya.
Jika demikian berarti ia mengikuti wasiat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
dalam hadits ini sehingga ia terkategori sebagai mukmin yang kuat. Di
samping manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya diperoleh, ia juga
mendapatkan pahala dalam kesungguhannya tersebut.
Dikisahkan dari perjalanan hidup Imam
al-Kasai, seorang ulama ahli Nahwu, saat mulai bejalar ilmu Nahwu beliau
mendapati kesulitan sehingga hampir putus asa. Kemudian beliau
menemukan seekor semut membawa makanan ke atas tembok. Setiap semut itu
naik sedikit, ia terjatuh. Begitu berulang-ulang sehingga ia berhasil
naik ke atas. Imam al-Kasai mengambil pelajaran dari semut tersebut,
beliau bersungguh-sungguh dalam belajar sampai menjadi imam besar dalam
ilmu Nahwu.
Penutup
Tulisan ini mengajak kepada pembaca
untuk terus meninggkatkan kualitas dan kuantitas iman. Mengajak untuk
menjadi hamba Allah yang kuat imannya. Yakni dengan menguatkan semangat
dalam menggapai kemanfaatan duniawi dan ukhrawi, disertai isti'anah
kepada Allah semata. Terus semangat, konsisten dan komitmen dalam
usahanya, dan tidak melemah. Jika terjadi sesuatu yang tak sesuai
harapan, ia tidak lantas ambruk dan kapok. Tidak pula mengandai-andai,
jika tadi melakukan ini pasti terjadi sesuatu yang lain. Karena
mengandai-andai semacam ini akan membuka pintu syetan, yakni akan
menyebabkan cacian terhadap takdir, marah kepada keputusan Allah, lemah
semangat, was-was, merana dan sedih. Tetapi hendaknya ia terus menjaga
semangat dan keyakinanya kepada Allah dengan mengatakan, Qaddarallahu Wamaa Syaa-a Fa'ala (Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat). Wallahu Ta'ala A'lam.
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2012/04/17/18685/mukmin-kuat-lebih-baik-dan-dicintai-allah/#sthash.Ah4JFJFD.dpuf